Monday 22 November 2010

Re: Pembantu

dari bincang2 di milis SamaggiPhala soal pembantu, sy ikutan menuliskan pendapat, dan sy sekalian sy posting disini untuk sharing...

link ke topik ini di milis SamaggiPhala: http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/94689
----

Re: Pembantu

Sekarang banyak tuntutan agar pembantu mendapat perlakuan yg sama dengan tenaga kerja lainnya.

Dituntut agar mempunyai upah yg layak (minimal UMR) juga mendapat libur, cuti, dsbnya..

Bukannya sy tidak mendukung program ini, tapi harus disadari bahwa pembantu mempunyai status kerja yg berbeda dari pekerja lainnya.

Perbedaan terpenting adalah: pembantu2 ini hidup serumah dengan atasannya.

Kenapa hal ini menjadi penting? Karena hal ini menjadikan pembantu yg tdk benar akan dpt dengan leluasa menyulitkan atasannya. Banyak kasus pembantu menculik anak2 majikannya. Banyak juga kejadian pembantu mencuri dan melarikan diri dari rumah. Banyak kejadian pembantu menjadi mata2 untuk perampokan rumah tsb, tdk hanya sekedar perampokan, tapi bisa juga perampokan+pembunuhan.

Dengan dasar kemungkinan ini-lah maka majikan biasanya akan ekstra ketat memperlakukan kebebasan pembantu2 ini. Biasanya mereka akan dilarang mempunyai HP (dengan tujuan mengurangi akses komunikasi ke jaringan luar), membatasi jalan2 keluar, dsbnya.

Pembatasan ini berlaku untuk pembantu2 baru, yg belum terlalu dikenal majikan. Biasanya pembantu yg telah mendptkan kepercayaan majikannya akan lebih leluasa. Jadi intinya, kembali kemasalah 'KEPERCAYAAN'. Masalah akhirnya kembali ke pembantu itu sendiri, mampukah mereka menunjukkan keseriusan kerjanya dan membangun kepercayaan majikannya?

Pada masa skrg, hal ini dirasa semakin sulit yah. Ditengah2 kenyataan sulitnya lapangan kerja, malah terkesan sulit mencari pembantu. Mereka terkesan memilih2 pekerjaan yg 'sesuai mereka inginkan'. Begitu diambil majikan, mereka lihat satu-dua hari, jika dirasa tidak cocok, maka mereka akan minta pulang / lari. Ini masalah klasik. Pembantu2 yg tua dan berumur, biasanya lbh tangguh dan kerasan.

Skrg soal gaji. Apakah benar gaji pembantu dibawah UMR? Sy kok menilainya malah jauh diatas UMR. Ambil contoh gaji pembantu di daerah saya adalah Rp.1.000.000,- plus uang transport datang dan pergi (pesawat dr jkt). Kost, uang makan, keperluan, tdk usah pusing.

Bandingkan dengan buruh UMR: didaerah sy UMR Rp.850.000,- perbulan, masih dipotong untuk kost 100.000,- lalu untuk makan anggap 20rb/hari = 600.000.-. Jadi: 850.000 - 100.000 - 600.000 = 150.000.- sisa ini akan habis untuk keperluan harian: sabun, transport, dll.

Dpt dilihat bahwa dari sisi penggajian, pembantu rumah tangga JAUHHHHHH diatas UMR. Memang kerjanya lebih berat, tapi ini adalah kenyataan hidup.. krn jika tinggal dikampung-pun kerja fisik yg harus mereka lakukan jauh lebih berat atau minimal sama dengan kerja di rumah kita.

---

Apa yg saya tuliskan diatas, sebagian adalah hasil bincang2 kami dengan pembantu rumah kami yg hingga saat ini telah bertahan lebih dari 5 tahun. Sebagian pembantu2 yg lain, keluar masuk paling lama bertahan setahun / dua, malah ada yg bbrp bulan / bbrp hari. Padahal pekerjaan yg mereka lakukan tiada bedanya dgn yg dilakukan pembantu sy yg lama ini.

Dpt kita lihat, satu kondisi yg sama, ada yg bersyukur dan ada yg mengeluh. Ini adalah hal yg biasa.

Tidak juga bisa kita pungkiri bahwa ada majikan yg kejam dan keterlaluan. Tapi, itu adalah cerita yg lain lagi. Sementara sy masih memandang dari sisi yg ini dulu....

Padang, 22 November 2010

::

Sunday 12 April 2009

Patung Yang Menangis

Beberapa minggu belakangan umat dari Agama Buddha dihebohkan oleh pemberitaan sebuah patung Buddha yang menangis. Sesuai dengan Ajaran Buddha bahwa 'hidup adalah dukkha' (ketidakpuasan/penderitaan), beberapa menarik benang merah antara berita patung Buddha menangis dan hubungannya dengan Ajaran Buddha tsb. Saya ingat juga, peristiwa yang sama di Agama Katolik, Islam dan lainnya. Peristiwa2 aneh. seringkali di hubungkan dengan kebesaran Tuhan / dikait-kaitkan dengan inti ajaran Agama masing-masing.

Karena kali ini, yg dikabarkan menangis adalah patung Buddha, maka saya akan menulisnya dari sisi Ajaran Buddha.

Mengajarkan kenyataan tentang Dukkha adalah bagus, namun hendaknya tidak dengan jalan menambah pembodohan lainnya. 

Seyogyanya mengajarkan tentang dukkha, cinta kasih, dan kepedulian diiringi dengan kebijaksanaan juga. Jika ingin mengajarkan tentang kepedulian kepada alam, hendaknya mengambil contoh peristiwa longsor, bendungan jebol, banjir, dll. Bencana2 ini jelas timbul karena ketidakpedulian manusia pada alam sekitar. 

Mengajarkan 'cintakasih' dapat melalui contoh2 binatang terhadap anaknya, pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya, perjuangan bapak tua miskin yg menghidupi anak2nya sd sarjana, dsbnya... contoh2 begini sangat jelas dan banyak dihidangkan di sekitar kita setiap hari...

Mengambil contoh secara asal2an malah berpotensi mementahkan ajaran yg hendak kita sampaikan. Sama dengan menakut2i anak2 dengan cerita2 hantu.... Selain menjadi bodoh, bagaimana kalau contoh yg kita ambil tsb terbukti tidak benar? Terakhir saya baca bahwa air di patung tsb berasal dari tetesan dari plafon.

Sebenarnya, sangat berbeda antara 'patung yg menangis' dan 'patung yg ada air di daerah mata-nya'... 'Menangis' adalah suatu keadaan yg diakibatkan oleh emosi, mungkin karena sedih, gembira atau terharu. Sedangkan 'ada air di sekitar mata' mungkin dikarenakan mata masuk debu, rembesan,  tetesan, atau hal lainnya. Patung tidak dapat menangis karena seonggok batu bukanlah makhluk hidup, tidak mempunyai pikiran dan perasaan, sehingga seonggok batu tidak bisa bereaksi emosi dan menangis

Hendaknya kita tidak membiasakan diri untuk menanggapi setiap peristiwa yg kelihatan 'irasional' dengan berlebihan dan pengandai2an terlalu jauh. Beberapa saat yg lalu, umat agama Islam seringkali menggembor2kan tulisan 'TUHAN' yg ditemukan di timun, daun, awan di langit, dan mengambil hikmahnya yakni: "TUHAN maha besar...". Apakah memang begitu mengajarkan kebesaran Tuhan? Yakni adanya corak mirip namaNya di timun? Orang2 mungkin akan meragukan akal waras si pengajar, atau mulai berpikir bahwa si Tuhan ini mulai aneh-aneh saja, atau mungkin benar2 percaya dan menjadi bodoh. 

Juga ketika peristiwa tsunami menghantam Aceh. Beberapa menarik makna filosofis dari peristiwa tsb, diantaranya: Tuhan Maha Besar, Tuhan memperingati umatnya yg sudah mulai melupakanNya. Apakah bijaksana mengajarkan Kebesaran dan Cintakasih Tuhan dengan cara dangkal begitu? Sebagian akan mencaci maki Tuhan karena sifat kejamnya, sebagian akan mendebat yg mengatakan begitu, sebagian lagi (yg paling banyak) semakin percaya akan kebesaran Tuhan, menjadi semakin bodoh dan menganggap bahwa saudara2 kita di Aceh tsb memang 'pantas' dihukum Tuhan.

Ajaran Buddha yg saya ketahui adalah: Kehidupan adalah dukkha, bertemu orang yg dicintai dan pasti berpisah adalah dukkha, kesenangan yg direnggut adalah dukkha, dilecehkan adalah dukkha, mengharapkan sanjungan adalah dukkha juga, tidak mendapatkan yg diinginkan adalah dukkha, kekecewaan, dan segala emosi adalah dukkha. Kita terlibat dukkha yg berkepanjangan yg membuat kita stress dan menderita. Ini adalah kenyataan hidup. Bencana alam, musibah silih beganti, pembantaian, perang, perlunya kepedulian kepada alam, lingkungan dan sesama adalah kenyataan hidup juga, yg dapat diamati secara nyata. 

Namun, 'kenyataan akan dukkha' tidak akan membuat patung menangis. Patung yg mengeluarkan air, mungkin karena rembesan, mungkin karena tetesan, mungkin karena peristiwa alam lainnya yg belum kita ketahui, namun satu hal yg pasti: Semua kejadian di alam ini tidak terlepas dari hukum sebab akibat. Tidak ada keajaiban. Yg ada hanyalah sebab yg belum diketahui.

Patung yg mengeluarkan air mengajarkan kita hal lainnya, yakni: jangan gampang memercayai sesuatu hanya karena dikatakan orang2 begitu, atau desas desus begitu. Telaalah segala sesuatu dengan bijak, belajarlah untuk melihat apa adanya. 

Ketidak pedulian kita pada alam, keegoisan kita pada sesama, ketamakan kita akan bumi ini tidak akan mengakibatkan sebuah patung menangis, namun perbuatan kita tsb mempunyai efek yg jauh lebih dahsyat dan mematikan yakni: longsor, banjir, naiknya permukaan air laut, badai, perang, kelaparan dan segala akibat buruk lainnya. 

Padang, 12 April 2009

::

Wednesday 8 April 2009

Menilai Diri Sendiri

Dalam proses pengembangan diri, seringkali berawal dari pengamatan terhadap  diri sendiri.

Pada awalnya, kita bisa menilai, diri kita penuh amarah, kita bisa menilai diri kita penuh ketamakan, penuh kebencian, dsbnya... Penilaian ini kasat mata bagi kita saat itu. Penilaian ini bisa terjadi karena batin yg kita amati adalah batin kasar.

Ketika terus menerus mengasah kesadaran kita, kita mulai menyadari batin2 negatif yg lebih halus, misalnya: kita mengamati bahwa terkadang batin kita sombong, batin kita munafik, batin kita penuh kepalsuan, batin kita senang dipuja. Penilaian batin sendiri ini adalah penilaian yg mulai tajam, penilaian terhadap batin yg sedikit lebih halus dibanding sebelumnya.

Pada tahapan lebih lanjut lagi, kita dapat menilai banyak hal terhadap batin sendiri yg sulit terdeteksi dibanding ketika kita baru mulai dahulu.

Dan tentu saja, selain bisa menilai hal2 yg negatif tentang diri sendiri, kita juga bisa menilai hal2 yg postif juga. Misalnya, kita bisa menilai bahwa diri kita penuh kasih sayang terhadap binatang, atau kasih sayang terhadap anak yatim piatu, atau kita juga bisa menilai diri kita penyabar, atau tidak terlalu peduli dengan materi, dsbnya.

Kemampuan 'menilai diri sendiri' adalah wajar dan mutlak diperlukan dalam usaha

memperbaiki kualitas diri sendiri.

Padang, 8 April 2009


::

Tuesday 3 March 2009

GURU

Tidak usah mencari Guru nan jauh disana, nan jauh di hutan2 atau di pelosok-pelosok gunung dan gua…  

Sebenarnya ada 3 macam Guru: pertama, Guru yg menguasai kitab dengan baik namun tidak dengan sikapnya. Kedua, Guru yg tidak tau apa2 tentang kitab namun sikapnya amatlah terpuji, dan yg ketiga adalah guru yg menguasai kitab dab sikap dengan baik.

Guru yg bertipe ketiga begini amatlah susah ditemui, ditengah kesibukan kita sehari-hari, amatlah beruntung jika bisa bersua dengan Guru yang sempurna tersebut. Namun, bagi yg belum begitu beruntung, tidak usah khawatir, Guru yg bertipe kedua, bertebaran disekeliling kita. Mereka dapat diketahui dari sikapnya yg penyabar, tenang dan penyayang. Kita dapat meneladani dan mencontoh sikap mereka. Kita dapat merujuk dan merenungkan sikap mereka yg sabar, tenang dan penyayang. Kita dapat berguru kepada mereka. Mereka-mereka ini, meski tidak menguasai teori Pencerahan sedikitpun, sesungguhnya adalah Guru nan Sejati. Mereka-mereka ini mungkin saja ayah/Ibu kita, mungkin saja Istri/Suami kita, atau ipar atau sepupu atau teman kita… Guru-guru ini bisa siapa saja di sekeliling kita…

Bagaimana dengan Guru pertama, yakni yang menguasai kitab dengan amat sempurna namun belum tentu dengan sikap kesehariannya? Ada orang bijak yg mengatakan: “Anda tidak akan tercerahkan di University”. Guru begini amatlah banyak, tidak usah mencari jauh-jauh… tidak usah khawatir dengan teori Dhamma, jika ingin intelek berteori Dhamma, internet dan buku-buku dapat menjadi subsitusi untuk Guru-guru begini… 

Maha Guru nan bijaksana menganjurkan kita untuk senantiasa menyempurnakan batin kita, sikap kita, reaksi kita, pikiran kita… Jika tujuan kita sesuai dengan anjuran Sang Guru tersebut, maka bergurulah kepada orang-orang yg baik sikapnya, baik batinnya, baik kepribadiannya… Berguru dengan cara mencontoh dan meneladani sikap mereka...


William Halim,

Padang, 3 Maret 2009

Monday 12 January 2009

Kebahagiaan

"Kebahagiaan", kata ini merupakan dambaan semua orang. Malah disadari atau tidak, kata tersebut adalah tujuan setiap orang. Semua orang, apapun kegiatannya tujuannya adalah untuk meraih "kebahagiaan" ini. Segala macam cara akan mereka lakukan untuk meraih "kebahagiaan" ini. Amrozi yg meledakkan bom di Bali pun melakukannya demi alasan ini, supaya hidup berbahagia di surga. Sayangnya, caranya salah kaprah. Apakah dengan membunuh orang-orang "kebahagiaan" akan berhasil diraih? Apakah dengan jalan kebencian, kekesalan, kemarahan, "kebahagiaan" akan berhasil diraih? Bukankah jalan menuju kebahagiaan harus selaras dengan tujuan itu sendiri? Mungkin Amrozi cs tidak pernah merenungkan hal ini. Mungkin bukan hanya Amrozi cs, mungkin juga kita semua sangat jarang merenungkan hal ini.

Sangat sering kita ingin bahagia namun dengan cara yg salah. Jalan "kebahagiaan" bukanlah jalan yg berlawanan dengan tujuan tsb, bukan kemarahan, tangisan, kesedihan, kekesalan, kebencian, ketamakan, dsbnya. Jalan untuk mendapatkan "kebahagiaan" adalah jalan yg selaras dengan tujuan, yakni: kasih sayang, belas kasihan, ketenangan, keseimbangan.

Seperti contoh memberi sedekah untuk seorang pengemis; bahagia sewaktu ingin memberi, bahagia sewaktu memberi sedekah, bahagia setelah memberi sedekah.

Kebahagiaan indah di awal, indah di tengah dan indah di akhir. Inilah jalan "kebahagiaan". Jangan sampai terkecoh lagi. Selalu waspada terhadap jalan ini.

Padang, 12 Januari 2009

::

Saturday 10 January 2009

Kursi Air Asia

Malam tadi sy berbincang_bincang dgn seorang engkoh2. Beliau sorenya baru balik dari KL bersama istrinya. KL - Padang pesawatnya Air Asia; dimana semua penumpang tidak diberi nomor kursi dan berebutan memilih kursi masing2. Karena si engkohberumur diatas 65 thn, maka beliau diperbolehkan lebih dulu naik pesawat sblm yg lainnya dan beliau memilih kursi paling depan, juga untuk istrinya.

Ketika para penumpang mulai masuk, terdapat seorg gadis yg stroke (umur 20 sdh kena stroke!) beserta mamanya. Pramugari bertanya, apakah si gadis boleh duduk di sebelah dalam (kursi Air Asia tsb 3 perbarisnya). Engkoh tsb dan istrinya berdiri mempersilahkan masuk, namun melihat mama si gadis mencari tempat duduk lain, akhirnya si engkoh memberikan tempat duduknya ke mama anak tsb dan mencari tempat duduk lain agak ke belakang. 

Di belakang tempat duduk kosong tidak ada lagi yg dempet dua. Adanya satu kosong dan lainnya di baris yg lain. Akhirnya si Engkoh dan istri nya duduk masing-masing di kursi kosong yg berseberangan baris. Untunglah, ada seorg pemuda yg berdiri dan mempersilahkan si engkoh untuk duduk bersebelahan dgn istrinya dan si pemuda kemudian pindah ke tempat duduk si engkoh.

Berebutan tempat duduk di Air Asia, seperti juga berebutan-berebutan tempat lainnya, sarat dgn egoisme. Dari kejadian di atas si engkoh mengakui dgn jujur bahwa dia berusaha mengalahkan ego-nya untuk bisa memberikan kursi tsb. Dan setelah perbuatan tsb dilakukan, perasaannya menjadi puas (sy artikan: berbahagia, karena ia me-reply kejadian tsb sambil tersenyum). Apalagi, dengan adanya tindakan si pemuda yg kemudian mengalah, memberikan tempat untuk si engkoh dan istrinya; perbuatan baik si engkoh berkemungkinan telah menginspirasi org lain unt berbuat baik pula.

Kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: perbuatan baik mesti dilatih.

Perbuatan baik, seperti perbuatan-perbuatan kita yg lainnya, adalah hasil latihan yg kita lakukan berulang-ulang. Tidak selalu kita mendapat kesempatan untuk bisa berbuat baik, dan tidak gampang bagi kita untuk berbuat baik jika kesempatan tsb tiba. Seringkali ego kita lebih mendominasi. Ego akan membimbing kita untuk mengamankan posisi kita dan tidak mau tau dgn kondisi sekitar. Yg penting posisi kita sdh senyaman mungkin, masa bodoh dgn org-org lain yg kesusahan. 


Kejadian sehari-hari seperti contoh diatas, kalau kita 'sadari' sangat sering terjadi dalam kehidupan kita. Cuman saja, kita ada menyadari-nya atau tidak. Jika ada kita sadari, apakah kita ada mengambil tindakan yg baik atau tidak. 

Seperti kata engkoh tadi: "Untuk bisa berbuat baik, diperlukan latihan"

Padang, 10 Jan 09

::

Wednesday 31 December 2008

Plastik Majalah (Broken Window)

Ada suat teori, namanya "Teori Broken Windows". Teori ini berprinsip bahwa pecahnya suatu bidang jendela akan mengkondisikan pecahnya bidang2 lainnya dengan lebih mudah dan cepat. 

Dalam keseharian kita, teori ini dapat kita rasakan sendiri kebenarannya. 

Ambil contoh, suatu kebiasaan buruk yg belum pernah kita lakukan. Ketika melakukan kebiasaan tsb untuk PERTAMA KALI nya, kita akan berpikir 1000x, takut dan was-was... namun jika tindakan tsb berhasil kita lakukan, maka untuk melakukan tindakan yg kedua, ketiga dan seterusnya akan jauh lebih mudah. Pada akhirnya tindakan tsb akan menjadi kebiasaan kita.

Semua kebiasaan dimulai dari 'sebuah tindakan pertama'. Ini berlaku untuk 'kebiasaan baik' dan juga 'kebiasaan buruk'. 

Untuk bisa menjadi manusia bersifat baik, kita harus memulainya dengan tindakan2 baik yg kecil dan harus mengurangi tindakan2 tidak baik. Dengan prinsip 'Broken Windows', maka menghindari hal2 kecil yg buruk dan memulai hal2 kecil yg baik, akan berakibat besar nantinya.

Lebih mudah membayangkan teori ini dengan sebuah sampul majalah plastik. Jika kita membeli sebuah majalah atau buku yg sudah diplastikin, membuka plastik ini untuk pertama kalinya amatlah susah, namun jika plastiknya sudah sobek sedikit saja, maka akan sangat mudah untuk menyobek keseluruhan sampul plastik tsb.

Padang, 31 December 2008

::