tag:blogger.com,1999:blog-48818903801785147662024-03-13T06:44:31.252+07:00williamhalim~Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi tercela.
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri,
tidak ada seorangpun yg dapat menyucikan orang lain~williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-14661428657706039292010-11-22T13:22:00.003+07:002010-11-22T13:31:59.667+07:00Re: Pembantudari bincang2 di milis SamaggiPhala soal pembantu, sy ikutan menuliskan pendapat, dan sy sekalian sy posting disini untuk sharing...<br /><br />link ke topik ini di milis SamaggiPhala: http://groups.yahoo.com/group/samaggiphala/message/94689<br />----<br /><br /><div class="subject root grey"> <span style="font-weight: bold;">Re: Pembantu </span></div><br />Sekarang banyak tuntutan agar pembantu mendapat perlakuan yg sama dengan tenaga kerja lainnya.<br /><br />Dituntut agar mempunyai upah yg layak (minimal UMR) juga mendapat libur, cuti, dsbnya..<br /><br />Bukannya sy tidak mendukung program ini, tapi harus disadari bahwa pembantu mempunyai status kerja yg berbeda dari pekerja lainnya.<br /><br />Perbedaan terpenting adalah: pembantu2 ini hidup serumah dengan atasannya.<br /><br />Kenapa hal ini menjadi penting? Karena hal ini menjadikan pembantu yg tdk benar akan dpt dengan leluasa menyulitkan atasannya. Banyak kasus pembantu menculik anak2 majikannya. Banyak juga kejadian pembantu mencuri dan melarikan diri dari rumah. Banyak kejadian pembantu menjadi mata2 untuk perampokan rumah tsb, tdk hanya sekedar perampokan, tapi bisa juga perampokan+pembunuhan.<br /><br />Dengan dasar kemungkinan ini-lah maka majikan biasanya akan ekstra ketat memperlakukan kebebasan pembantu2 ini. Biasanya mereka akan dilarang mempunyai HP (dengan tujuan mengurangi akses komunikasi ke jaringan luar), membatasi jalan2 keluar, dsbnya.<br /><br />Pembatasan ini berlaku untuk pembantu2 baru, yg belum terlalu dikenal majikan. Biasanya pembantu yg telah mendptkan kepercayaan majikannya akan lebih leluasa. Jadi intinya, kembali kemasalah 'KEPERCAYAAN'. Masalah akhirnya kembali ke pembantu itu sendiri, mampukah mereka menunjukkan keseriusan kerjanya dan membangun kepercayaan majikannya?<br /><br />Pada masa skrg, hal ini dirasa semakin sulit yah. Ditengah2 kenyataan sulitnya lapangan kerja, malah terkesan sulit mencari pembantu. Mereka terkesan memilih2 pekerjaan yg 'sesuai mereka inginkan'. Begitu diambil majikan, mereka lihat satu-dua hari, jika dirasa tidak cocok, maka mereka akan minta pulang / lari. Ini masalah klasik. Pembantu2 yg tua dan berumur, biasanya lbh tangguh dan kerasan.<br /><br />Skrg soal gaji. Apakah benar gaji pembantu dibawah UMR? Sy kok menilainya malah jauh diatas UMR. Ambil contoh gaji pembantu di daerah saya adalah Rp.1.000.000,- plus uang transport datang dan pergi (pesawat dr jkt). Kost, uang makan, keperluan, tdk usah pusing.<br /><br />Bandingkan dengan buruh UMR: didaerah sy UMR Rp.850.000,- perbulan, masih dipotong untuk kost 100.000,- lalu untuk makan anggap 20rb/hari = 600.000.-. Jadi: 850.000 - 100.000 - 600.000 = 150.000.- sisa ini akan habis untuk keperluan harian: sabun, transport, dll.<br /><br />Dpt dilihat bahwa dari sisi penggajian, pembantu rumah tangga JAUHHHHHH diatas UMR. Memang kerjanya lebih berat, tapi ini adalah kenyataan hidup.. krn jika tinggal dikampung-pun kerja fisik yg harus mereka lakukan jauh lebih berat atau minimal sama dengan kerja di rumah kita.<br /><br />---<br /><br />Apa yg saya tuliskan diatas, sebagian adalah hasil bincang2 kami dengan pembantu rumah kami yg hingga saat ini telah bertahan lebih dari 5 tahun. Sebagian pembantu2 yg lain, keluar masuk paling lama bertahan setahun / dua, malah ada yg bbrp bulan / bbrp hari. Padahal pekerjaan yg mereka lakukan tiada bedanya dgn yg dilakukan pembantu sy yg lama ini.<br /><br />Dpt kita lihat, satu kondisi yg sama, ada yg bersyukur dan ada yg mengeluh. Ini adalah hal yg biasa.<br /><br />Tidak juga bisa kita pungkiri bahwa ada majikan yg kejam dan keterlaluan. Tapi, itu adalah cerita yg lain lagi. Sementara sy masih memandang dari sisi yg ini dulu....<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Padang, 22 November 2010</span><br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-48430138290788681492009-04-12T16:59:00.003+07:002009-06-14T13:19:46.791+07:00Patung Yang MenangisBeberapa minggu belakangan umat dari Agama Buddha dihebohkan oleh pemberitaan sebuah patung Buddha yang menangis. Sesuai dengan Ajaran Buddha bahwa 'hidup adalah <em>dukkha</em>' (<em>ketidakpuasan/penderitaan</em>), beberapa menarik benang merah antara berita patung Buddha menangis dan hubungannya dengan Ajaran Buddha tsb. Saya ingat juga, peristiwa yang sama di Agama Katolik, Islam dan lainnya. Peristiwa2 aneh. seringkali di hubungkan dengan kebesaran Tuhan / dikait-kaitkan dengan inti ajaran Agama masing-masing.<p>Karena kali ini, yg dikabarkan menangis adalah patung Buddha, maka saya akan menulisnya dari sisi Ajaran Buddha. </p><p>Mengajarkan kenyataan tentang <em>Dukkha</em> adalah bagus, namun hendaknya tidak dengan jalan menambah pembodohan lainnya. </p>Seyogyanya mengajarkan tentang <em>dukkha, cinta kasih</em>, dan <em>kepedulian</em> diiringi dengan <em>kebijaksanaan</em> juga. Jika ingin mengajarkan tentang kepedulian kepada alam, hendaknya mengambil contoh peristiwa longsor, bendungan jebol, banjir, dll. Bencana2 ini jelas timbul karena ketidakpedulian manusia pada alam sekitar. <br /><br />Mengajarkan 'cintakasih' dapat melalui contoh2 binatang terhadap anaknya, pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya, perjuangan bapak tua miskin yg menghidupi anak2nya sd sarjana, dsbnya... contoh2 begini sangat jelas dan banyak dihidangkan di sekitar kita setiap hari...<br /><br />Mengambil contoh secara asal2an malah berpotensi mementahkan ajaran yg hendak kita sampaikan. Sama dengan menakut2i anak2 dengan cerita2 hantu.... Selain menjadi bodoh, bagaimana kalau contoh yg kita ambil tsb terbukti tidak benar? Terakhir saya baca bahwa air di patung tsb berasal dari tetesan dari plafon.<br /><br /><p>Sebenarnya, sangat <span style="color:#ff0000;">berbeda </span>antara '<strong>patung yg menangis</strong>' dan '<strong>patung yg ada air di daerah mata-nya</strong>'... '<em>Menangis</em>' adalah suatu keadaan yg diakibatkan oleh emosi, mungkin karena sedih, gembira atau terharu. Sedangkan '<em>ada air di sekitar mata</em>' mungkin dikarenakan mata masuk debu, rembesan, tetesan, atau hal lainnya. Patung tidak dapat menangis karena seonggok batu bukanlah makhluk hidup, tidak mempunyai pikiran dan perasaan, sehingga seonggok batu tidak bisa bereaksi emosi dan <em>menangis</em>. </p><p>Hendaknya kita tidak membiasakan diri untuk menanggapi setiap peristiwa yg kelihatan 'irasional' dengan berlebihan dan pengandai2an terlalu jauh. Beberapa saat yg lalu, umat agama Islam seringkali menggembor2kan tulisan 'TUHAN' yg ditemukan di timun, daun, awan di langit, dan mengambil hikmahnya yakni: "TUHAN maha besar...". Apakah memang begitu mengajarkan kebesaran Tuhan? Yakni adanya corak mirip namaNya di timun? Orang2 mungkin akan meragukan akal waras si pengajar, atau mulai berpikir bahwa si Tuhan ini mulai aneh-aneh saja, atau mungkin benar2 percaya dan menjadi bodoh. </p>Juga ketika peristiwa tsunami menghantam Aceh. Beberapa menarik makna filosofis dari peristiwa tsb, diantaranya: Tuhan Maha Besar, Tuhan memperingati umatnya yg sudah mulai melupakanNya. Apakah bijaksana mengajarkan Kebesaran dan Cintakasih Tuhan dengan cara dangkal begitu? Sebagian akan mencaci maki Tuhan karena sifat kejamnya, sebagian akan mendebat yg mengatakan begitu, sebagian lagi (yg paling banyak) semakin percaya akan kebesaran Tuhan, menjadi semakin bodoh dan menganggap bahwa saudara2 kita di Aceh tsb memang 'pantas' dihukum Tuhan.<br /><br />Ajaran Buddha yg saya ketahui adalah: Kehidupan adalah <em>dukkha</em>, bertemu orang yg dicintai dan pasti berpisah adalah <em>dukkha</em>, kesenangan yg direnggut adalah <em>dukkha</em>, dilecehkan adalah <em>dukkha</em>, mengharapkan sanjungan adalah <em>dukkha</em> juga, tidak mendapatkan yg diinginkan adalah <em>dukkha</em>, kekecewaan, dan segala emosi adalah <em>dukkha</em>. Kita terlibat <em>dukkha</em> yg berkepanjangan yg membuat kita stress dan menderita. Ini adalah kenyataan hidup. Bencana alam, musibah silih beganti, pembantaian, perang, perlunya kepedulian kepada alam, lingkungan dan sesama adalah kenyataan hidup juga, yg dapat diamati secara nyata. <br /><br />Namun, 'kenyataan akan <em>dukkha</em>' tidak akan membuat patung menangis. Patung yg mengeluarkan air, mungkin karena rembesan, mungkin karena tetesan, mungkin karena peristiwa alam lainnya yg belum kita ketahui, namun satu hal yg pasti: Semua kejadian di alam ini tidak terlepas dari hukum sebab akibat. Tidak ada keajaiban. Yg ada hanyalah sebab yg belum diketahui.<br /><br />Patung yg mengeluarkan air mengajarkan kita hal lainnya, yakni: jangan gampang memercayai sesuatu hanya karena dikatakan orang2 begitu, atau desas desus begitu. Telaalah segala sesuatu dengan bijak, belajarlah untuk melihat apa adanya. <br /><br /><em>Ketidak pedulian kita pada alam, keegoisan kita pada sesama, ketamakan kita akan bumi ini</em> <strong>tidak akan mengakibatkan sebuah patung menangis</strong>, <strong>namun perbuatan kita tsb mempunyai efek yg jauh lebih dahsyat dan mematikan</strong> yakni: longsor, banjir, naiknya permukaan air laut, badai, perang, kelaparan dan segala akibat buruk lainnya. <br /><p></p><p>Padang, 12 April 2009</p><p>::</p>williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-1288627092769789852009-04-08T13:38:00.003+07:002009-04-08T13:50:39.871+07:00Menilai Diri SendiriDalam proses pengembangan diri, seringkali berawal dari pengamatan terhadap diri sendiri.<br /><br />Pada awalnya, kita bisa menilai, diri kita penuh amarah, kita bisa menilai diri kita penuh ketamakan, penuh kebencian, dsbnya... Penilaian ini kasat mata bagi kita saat itu. Penilaian ini bisa terjadi karena batin yg kita amati adalah batin kasar.<br /><br />Ketika terus menerus mengasah kesadaran kita, kita mulai menyadari batin2 negatif yg lebih halus, misalnya: kita mengamati bahwa terkadang batin kita sombong, batin kita munafik, batin kita penuh kepalsuan, batin kita senang dipuja. Penilaian batin sendiri ini adalah penilaian yg mulai tajam, penilaian terhadap batin yg sedikit lebih halus dibanding sebelumnya.<br /><br />Pada tahapan lebih lanjut lagi, kita dapat menilai banyak hal terhadap batin sendiri yg sulit terdeteksi dibanding ketika kita baru mulai dahulu.<br /><br />Dan tentu saja, selain bisa menilai hal2 yg negatif tentang diri sendiri, kita juga bisa menilai hal2 yg postif juga. Misalnya, kita bisa menilai bahwa diri kita penuh kasih sayang terhadap binatang, atau kasih sayang terhadap anak yatim piatu, atau kita juga bisa menilai diri kita penyabar, atau tidak terlalu peduli dengan materi, dsbnya.<br /><br />Kemampuan 'menilai diri sendiri' adalah wajar dan mutlak diperlukan dalam usaha<br /><p>memperbaiki kualitas diri sendiri.</p><p></p><p>Padang, 8 April 2009<br /></p><p></p><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-37842549992727434272009-03-03T14:25:00.002+07:002009-03-03T14:31:25.079+07:00GURU<p>Tidak usah mencari Guru nan jauh disana, nan jauh di hutan2 atau di pelosok-pelosok gunung dan gua… </p><p>Sebenarnya ada 3 macam Guru: pertama, Guru yg menguasai kitab dengan baik namun tidak dengan sikapnya. Kedua, Guru yg tidak tau apa2 tentang kitab namun sikapnya amatlah terpuji, dan yg ketiga adalah guru yg menguasai kitab dab sikap dengan baik.<br /></p><p>Guru yg bertipe ketiga begini amatlah susah ditemui, ditengah kesibukan kita sehari-hari, amatlah beruntung jika bisa bersua dengan Guru yang sempurna tersebut. Namun, bagi yg belum begitu beruntung, tidak usah khawatir, Guru yg bertipe kedua, bertebaran disekeliling kita. <strong>Mereka dapat diketahui dari sikapnya yg penyabar, tenang dan penyayang</strong>. Kita dapat meneladani dan mencontoh sikap mereka. Kita dapat merujuk dan merenungkan sikap mereka yg sabar, tenang dan penyayang. <strong>Kita dapat berguru kepada mereka</strong>. Mereka-mereka ini, meski tidak menguasai teori Pencerahan sedikitpun, sesungguhnya adalah Guru nan Sejati. Mereka-mereka ini mungkin saja ayah/Ibu kita, mungkin saja Istri/Suami kita, atau ipar atau sepupu atau teman kita… Guru-guru ini bisa siapa saja di sekeliling kita…<br /></p><p>Bagaimana dengan Guru pertama, yakni yang menguasai kitab dengan amat sempurna namun belum tentu dengan sikap kesehariannya? Ada orang bijak yg mengatakan: “<em>Anda tidak akan tercerahkan di University</em>”. Guru begini amatlah banyak, tidak usah mencari jauh-jauh… tidak usah khawatir dengan teori Dhamma, jika ingin intelek berteori Dhamma, internet dan buku-buku dapat menjadi subsitusi untuk Guru-guru begini… </p><p>Maha Guru nan bijaksana menganjurkan kita untuk senantiasa menyempurnakan batin kita, sikap kita, reaksi kita, pikiran kita… Jika tujuan kita sesuai dengan anjuran Sang Guru tersebut, maka bergurulah kepada orang-orang yg baik sikapnya, baik batinnya, baik kepribadiannya… Berguru dengan cara mencontoh dan meneladani sikap mereka...<br /></p><br /><p>William Halim, </p><p>Padang, 3 Maret 2009<br /></p>williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-53714391301884030832009-01-12T07:56:00.003+07:002009-01-12T08:01:16.317+07:00Kebahagiaan"Kebahagiaan", kata ini merupakan dambaan semua orang. Malah disadari atau tidak, kata tersebut adalah tujuan setiap orang. Semua orang, apapun kegiatannya tujuannya adalah untuk meraih "kebahagiaan" ini. Segala macam cara akan mereka lakukan untuk meraih "kebahagiaan" ini. Amrozi yg meledakkan bom di Bali pun melakukannya demi alasan ini, supaya hidup berbahagia di surga. Sayangnya, caranya salah kaprah. Apakah dengan membunuh orang-orang "kebahagiaan" akan berhasil diraih? Apakah dengan jalan kebencian, kekesalan, kemarahan, "kebahagiaan" akan berhasil diraih? Bukankah jalan menuju kebahagiaan harus selaras dengan tujuan itu sendiri? Mungkin Amrozi cs tidak pernah merenungkan hal ini. Mungkin bukan hanya Amrozi cs, mungkin juga kita semua sangat jarang merenungkan hal ini.<p>Sangat sering kita ingin bahagia namun dengan cara yg salah. <strong>Jalan "kebahagiaan" bukanlah jalan yg berlawanan dengan tujuan tsb</strong>, bukan kemarahan, tangisan, kesedihan, kekesalan, kebencian, ketamakan, dsbnya. <strong>Jalan untuk mendapatkan "kebahagiaan" adalah jalan yg selaras dengan tujuan</strong>, yakni: kasih sayang, belas kasihan, ketenangan, keseimbangan. </p><p>Seperti contoh memberi sedekah untuk seorang pengemis; bahagia sewaktu ingin memberi, bahagia sewaktu memberi sedekah, bahagia setelah memberi sedekah. </p><p>Kebahagiaan indah di awal, indah di tengah dan indah di akhir. Inilah jalan "kebahagiaan". Jangan sampai terkecoh lagi. Selalu waspada terhadap jalan ini.<br /></p><p>Padang, 12 Januari 2009</p><p>::</p>williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-80342711740453041622009-01-10T15:34:00.002+07:002009-01-10T15:54:16.261+07:00Kursi Air AsiaMalam tadi sy berbincang_bincang dgn seorang engkoh2. Beliau sorenya baru balik dari KL bersama istrinya. KL - Padang pesawatnya Air Asia; dimana semua penumpang tidak diberi nomor kursi dan berebutan memilih kursi masing2. Karena si engkohberumur diatas 65 thn, maka beliau diperbolehkan lebih dulu naik pesawat sblm yg lainnya dan beliau memilih kursi paling depan, juga untuk istrinya.<br /><br />Ketika para penumpang mulai masuk, terdapat seorg gadis yg stroke (umur 20 sdh kena stroke!) beserta mamanya. Pramugari bertanya, apakah si gadis boleh duduk di sebelah dalam (kursi Air Asia tsb 3 perbarisnya). Engkoh tsb dan istrinya berdiri mempersilahkan masuk, namun melihat mama si gadis mencari tempat duduk lain, akhirnya si engkoh memberikan tempat duduknya ke mama anak tsb dan mencari tempat duduk lain agak ke belakang. <br /><br />Di belakang tempat duduk kosong tidak ada lagi yg dempet dua. Adanya satu kosong dan lainnya di baris yg lain. Akhirnya si Engkoh dan istri nya duduk masing-masing di kursi kosong yg berseberangan baris. Untunglah, ada seorg pemuda yg berdiri dan mempersilahkan si engkoh untuk duduk bersebelahan dgn istrinya dan si pemuda kemudian pindah ke tempat duduk si engkoh.<br /><br />Berebutan tempat duduk di Air Asia, seperti juga berebutan-berebutan tempat lainnya, sarat dgn egoisme. Dari kejadian di atas si engkoh mengakui dgn jujur bahwa dia berusaha mengalahkan ego-nya untuk bisa memberikan kursi tsb. Dan setelah perbuatan tsb dilakukan, perasaannya menjadi puas (sy artikan: berbahagia, karena ia me-reply kejadian tsb sambil tersenyum). Apalagi, dengan adanya tindakan si pemuda yg kemudian mengalah, memberikan tempat untuk si engkoh dan istrinya; perbuatan baik si engkoh berkemungkinan telah menginspirasi org lain unt berbuat baik pula.<br /><br /><p>Kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: <strong>perbuatan baik mesti dilatih</strong>. </p><p>Perbuatan baik, seperti perbuatan-perbuatan kita yg lainnya, adalah hasil latihan yg kita lakukan berulang-ulang. <em>Tidak selalu kita mendapat kesempatan untuk bisa berbuat baik, dan tidak gampang bagi kita untuk berbuat baik jika kesempatan tsb tiba</em>. Seringkali ego kita lebih mendominasi. Ego akan membimbing kita untuk mengamankan posisi kita dan tidak mau tau dgn kondisi sekitar. Yg penting posisi kita sdh senyaman mungkin, masa bodoh dgn org-org lain yg kesusahan. <br /></p><br />Kejadian sehari-hari seperti contoh diatas, kalau kita <em>'sad</em><em>ari</em>' sangat sering terjadi dalam kehidupan kita. Cuman saja, kita ada menyadari-nya atau tidak. Jika ada kita sadari, apakah kita ada mengambil tindakan yg baik atau tidak. <br /><br />Seperti kata engkoh tadi: "Untuk bisa berbuat baik, diperlukan latihan"<br /><br />Padang, 10 Jan 09<br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-64102637984204259232008-12-31T08:08:00.003+07:002008-12-31T11:08:15.712+07:00Plastik Majalah (Broken Window)<p>Ada suat teori, namanya "Teori Broken Windows". Teori ini berprinsip bahwa pecahnya suatu bidang jendela akan mengkondisikan pecahnya bidang2 lainnya dengan lebih mudah dan cepat. </p><p>Dalam keseharian kita, teori ini dapat kita rasakan sendiri kebenarannya. </p><p>Ambil contoh, suatu kebiasaan buruk yg belum pernah kita lakukan. Ketika melakukan kebiasaan tsb untuk PERTAMA KALI nya, kita akan berpikir 1000x, takut dan was-was... namun jika tindakan tsb berhasil kita lakukan, maka untuk melakukan tindakan yg kedua, ketiga dan seterusnya akan jauh lebih mudah. Pada akhirnya tindakan tsb akan menjadi kebiasaan kita.</p><p>Semua kebiasaan dimulai dari 'sebuah tindakan pertama'. Ini berlaku untuk 'kebiasaan baik' dan juga 'kebiasaan buruk'. </p><p>Untuk bisa menjadi manusia bersifat baik, kita harus memulainya dengan tindakan2 baik yg kecil dan harus mengurangi tindakan2 tidak baik. Dengan prinsip 'Broken Windows', maka menghindari hal2 kecil yg buruk dan memulai hal2 kecil yg baik, akan berakibat besar nantinya.</p><p>Lebih mudah membayangkan teori ini dengan sebuah sampul majalah plastik. Jika kita membeli sebuah majalah atau buku yg sudah diplastikin, membuka plastik ini untuk pertama kalinya amatlah susah, namun jika plastiknya sudah sobek sedikit saja, maka akan sangat mudah untuk menyobek keseluruhan sampul plastik tsb.</p><p></p><p>Padang, 31 December 2008</p><p></p><p>::</p><p></p><p></p><p> </p>williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-68635118175576147342008-08-24T16:48:00.002+07:002008-08-24T16:55:35.339+07:00Sunset PolicyKemarin saya ikut seminar perpajakan yg membahas masalah "Sunset Policy". "Sunset Policy" adalah program pemerintah yang memberikan kesempatan kepada para wajib pajak untuk mendaftarkan harta yang mereka miliki yang belum didaftarkan di SPT tanpa dikenai sanksi dan denda. Program ini akan habis masa berlakunya pada tanggal 31 Desember 2008.<br /><br />Entah kenapa program yang mirip-mirip "Tax Amnesty" ini diberi nama "Sunset Policy". "Sunset" -yang kita tau- adalah masa-masa peralihan dari siang ke malam, terang ke gelap... apakah mungkin "Sunset Policy" artinya adalah: Matahari sebentar lagi mau terbenam, cepat-cepatlah lapor sekarang. Masa-masa terang (nyaman) akan segera berakhir dan tahun depan akan dimulai masa-masa pembantaian bagi kekayaan yang tidak dilaporkan... Apakah begitu artinya? Tidak tau juga.<br /><br />Jadi, dari hasil seminar kemarin, yang pembicaranya adalah 2 orang akuntan publik yang paling terkenal di Kota Padang dan para pesertanya sebagian besar adalah para pengusaha, menekankan pada tiga poin:<br />1. Laporkanlah kekayaan anda yang selama ini belum terdaftar di SPT, misalnya: tanah, deposito, mobil, dsbnya.<br />2. Lakukan pembetulan SPT beberapa tahun belakang (2006, 2005, 2004) agar kelihatan 'wajar' menunjang kekayaan anda tersebut.<br />3. Untuk tahun- tahun berikutnya, laporkanlah penghasilan anda agar lebih 'wajar' dibanding laporan tahun-tahun sebelum ini.<br />4. Bagi yang belum memiliki NPWP, segera daftarkan NPWP baru anda dan ikuti point 1 dan 3 diatas.<br /><br />Pembicara sangat menganjurkan agar kita-kita segera memanfaatkan kesempatan "Sunset Policy" ini. Meskipun terdapat sedikit perbedaan pendapat apakah "Sunset Policy" ini akan beresiko pada pemeriksaan dan pembayaran atas harta-harta yang dilaporkan tersebut, namun secara global: <strong>'melaporkan' sekarang tetap lebih baik dibanding 'tidak melaporkan' sekarang ini</strong>. Kenapa? Karena jika kita tidak melapor sekarang ini, dan tahun depan Dirjen Pajak mengetahui harta-harta kita tersebut, maka akan ditagih pajak pendapatan atas harta tersebut plus denda, bunga dan sanksi (bisa pidana).<br /><br />Kesempatan "Sunset Policy" ini tidak hanya terbatas pada pengusaha dan 'orang-orang kaya' saja, namun juga bermanfaat bagi para pegawai. Karena, jika tidak melaporkan mempunyai kekayaan dan tahu-tahu si pegawai bisa membeli mobil atau rumah, maka akan terkena sanksi juga. Jadi, segeralah laporkan kekayaan anda sekarang, manfaatkan "Sunset Policy" dan anda <i>bisa tidur nyenyak</i>.<br /><br />Catatan:<br />1. "<i>Bisa Tidur Nyenyak</i>" adalah semboyan Dirjen Pajak untuk program Sunset Policy ini :)<br />2. Bagi agama ketuhanan, "Sunset Policy" bisa berarti semacam 'pengakuan dosa' dan bagi ajaran Buddhism "Sunset Policy" adalah kesempatan berbuat Kamma Baik.<br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-20915995721990185842008-08-01T11:13:00.001+07:002008-08-01T11:17:28.846+07:00"Diam dek..."Beberapa hari yang lalu, anak saya yang tertua Miguelle berkelahi dengan adiknya, Georgia. Pokok permasalahannya ternyata Miguelle telah menyenggol adiknya sehingga terjatuh. Georgia menagis dan tidak mau diam. Saya dan mamanya berusaha mendiamkan, Georgia juga tidak mau diam, malah tangisannya makin keras. Akhirnya saya berkata pada Miguelle, “<i>Migel, bilang ‘diam dek’ ke Georgia, ayo</i>”… Miguelle nggak mau, saya berkata “<i>Apa beratnya sih membilang ‘diam dek’</i>?”. Miguelle menjawab “<i>Yang berat perasaannya</i>”. Akhirnya setelah saya kasih pengertian, Miguelle mau membilang ‘<i>Diam Dek</i>’ ke adiknya, dan ternyata si Georgia langsung diam tangisannya begitu dibilang oleh Miguelle, padahal saya dan mama-nya yang telah berusaha membujuknya beberapa kali, tidak berhasil.<br /><br />Ada dua pelajaran yagn saya dapatkan dari peristiwa itu.<br /><br />~ Pertama, Miguelle yang berumur 8 tahun telah mengatakan bahwa yang memberatkannya untuk mengatakan ‘<i>Diam dek</i>’ pada adiknya adalah ‘perasaannya’, dengan kata lain dia mengakui bahwa sebenarnya ‘<strong>gengsi’ alias ‘ego’ lah hambatan seseorang untuk mengaku salah kepada orang lain</strong>. Saya sesungguhnya bersyukur dia bisa menyadari hal itu, <strong>karena untuk mengubah perilaku buruk kita, pertama-tama kita haru dapat menyadari/mengakui-nya terlebih dahulu. Menyadari/mengakui ‘Ego’ sendiri merupakan hal yang tersulit</strong>.<br /><br />~ Kedua, Georgia yang ‘tidak mau diam’ oleh bujukan saya dan mama-nya ternyata bisa diam hanya oleh ‘satu kalimat datar’ dari kakaknya. Kenapa? Kerena selama ini si kakak gengsi-nya agak tinggi, sehingga ketika si kakak membujuk adiknya, itu sudah merupakan peristiwa langka dan luar biasa bagi si adik. Georgia sangat menghargai kerendahan hati yang ditunjukkan kakaknya saat itu.<br /><br />william halim<br />Padang, 1 Agustus 2008<br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-74085058158909359222008-07-30T16:13:00.007+07:002008-07-30T17:35:17.918+07:00Es duren<div align="left"><div align="center"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisVpljh_nPHrQ6eTr_AyiwDpJ8X0HKexy_lJj6bF8AO788GxbjFnJ_gCHVyNMuaym8exQCkVmEr01T-MSn7kz61UbUWcTdrGNLnnDDkLC0XfzqwW6ouusRDEH7NgJXGbbueCSZOftJCCQ/s1600-h/es+duren.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisVpljh_nPHrQ6eTr_AyiwDpJ8X0HKexy_lJj6bF8AO788GxbjFnJ_gCHVyNMuaym8exQCkVmEr01T-MSn7kz61UbUWcTdrGNLnnDDkLC0XfzqwW6ouusRDEH7NgJXGbbueCSZOftJCCQ/s200/es+duren.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5228742194493454962" /></a><br /><i><span>Es duren adalah es serut yang berisi cincau, cendol, potongan agar-agar, dll kemudian disiram dengan duren kental yang banyak dan di topping dengan coklat cair... (hmmm sedap). Sepanjang yang saya tau hanya ada di kota Padang, belum terdata jika ada di tempat lainnya di Indonesia</span></i><br /><br />~ o 0 o ~<br /><br /><div align="left">Paling enak makan es duren di siang hari bolong, dan di hari libur yang panas ini, saat nan sempurna untuk menuntaskan rencana saya. Setelah selesai mengutak-atik internet, saya men-standby-kan komputer dan memanggil anak istri untuk pergi makan es duren. Istri ternyata baru bangun bobok siang dan akhirnya anak saya yang nomor dua juga terbangun. Yang namanya anak kecil baru bangun tidur, pasti tidak langsung bisa segar, melainkan menangis dan bermalas-malasan dulu. Saya melihat keluar, langit yang tadinya cerah panas, berangsur mulai sore. Rencana mo pergi jam 15:00 telah mulai bergeser menjadi jam 15:30... wah, saya berpikir, jam berapa lagi nih mau makan es durennya, udah keburu sore, nggak asyik lagi dong. Akhirnya saya menyuruh mereka cepat semua. Anak kecil yang didesak-desak akhirnya malah menangis dan istri saya akhirnya mulai kesal juga karena diburu-buru.<br /><br />Acara makan es duren yang seharusnya penuh keceriaan, akhirnya berangkat dengan wajah-wajah kesal. Suasana sudah tidak nyaman lagi. Untung, saya segera 'mengenal' situasi ini, mulai menata perspektif pikiran saya, merenungkan kejadian tadi kembali, apa penyebabnya, berencana menuliskan ke blog saya kejadian ini, dan akhirnya suasana perlahan-lahan bisa cair kembali.<br /><br />Perspektif apa yang saya manage? Saya mempelajari akar permasalahan. Akar masalahnya yaitu: <strong>harapan-harapan saya</strong>. Saya terlalu mengharapkan suasana yang sempurna, saya mengharapkan makan es di hari panas yang cerah, saya mengharapkan keluarga berangkat dengan ceria. Kenyataan yang terjadi ialah sebagian <i>harapan saya tersebut ternyata tidak terwujud</i>. <strong>Karena harapan yang tidak terealisasi, akhirnya timbullah kekesalan</strong>, yang akan menimbulkan efek domino, yakni kekesalan-kekesalan selanjutnya.<br /><br />Seperti hal-nya semua permasalahan di dunia ini, permasalahan saya pun berakar pada terlalu melekatnya saya pada keinginan saya sendiri. Padahal, kita tau bahwa 'kenyataan yang terjadi' tidak bisa selalu sama dengan keinginan kita. "<strong>Konflik antara harapan dan kenyataan yang terjadi</strong>" inilah yang kita sebut dengan '<strong>masalah</strong>'.<br /><br />Jadi, bagaimana solusinya? Solusinya, kita harus realistis. Kita tau bahwa, kita tidak bisa mengontrol 'kenyataan yang terjadi', karena 'kenyataan yang terjadi' adalah gabungan dari banyak kondisi, tidaklah mungkin bagi kita untuk mengontrol semua kondisi. <strong>Yang dapat kita kontrol sepenuhnya adalah 'harapan' kita, 'keinginan' kita</strong>. Kita dapat me-manage pikiran kita agar jangan terlalu melekati keinginan kita. Sesuainya harapan dan kenyataan yang terjadi, maka tidak akan terjadi konflik batin. <br /><br />Kembali ke es duren, bagaimana me-manage nya? Ketimbang berpikiran "<i>Aku mesti pergi makan es duren di siang hari nan panas</i>." mending kita men-setting harapan kita sebagai berikut: "<i>Aku pengen makan es duren di siang hari bolong, bisa pergi... ya syukur, nggak bisa... ya nggak apa-apa...</i>" <br /><br />william halim,<br />Padang, 30 Juli 2008<br /><br />::</div></div></div>williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-16772940874087978842008-07-30T13:51:00.005+07:002008-07-30T14:17:46.948+07:00"Oleh diri sendiri..."Kalimat pada uraian judul diatas yakni:<br /><br /><span>~</span><span style="color:#996633;"><span><span><i>Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,<br />oleh diri sendiri seseorang menjadi tercela.<br />Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,<br />oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.<br />Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri,<br />tidak ada seorangpun yg dapat menyucikan orang lain</i></span></span></span><span>~</span><br /><br />saya kutip dari perkataan seseorang yang dianggap paling bijaksana di bumi ini. Semenjak kecil saya seringkali menggantungkan harapan kepada makhluk adikuasa, hasil dari imajinasi saya. Ketika mau ujian, saya memohon bimbingannya, ketika pengumuman kelulusan, saya memohon berkatnya agar lulus. Kalau dipikir-pikir, tidakan tersebut sungguh lucu. Apakah makhluk adikuasa akan menentukan lulus atau tidak lulusnya saya? Apakah tindakan saya tersebut benar-benar bermanfaat atau hanya demi kepuasan batin saya saja saat menunggu suatu hasil yang sangat penting? Apakah makhluk adikuasa yang menentukan kelulusan saya ataukah diri saya sendiri, usaha saya sendiri? <br /><br />Demikian juga dengan segala kejadian di kehidupan ini. Apakah kita yang sesungguhnya menentukan suatu akibat, ataukah makhluk adikuasa yang menentukan? Jika kita melamar suatu pekerjaan, apakah hasil test dan pengalaman kita serta keputusan perusahaan yang menentukan ataukah makhluk adikuasa yang menentukan? Jika kita terjebak kemacetan ketika terburu-buru ke bandara, apakah itu telah diatur oleh makhluk adikuasa ataukah disebabkan oleh banyak kondisi yg berpadu (saya dan beribu-ribu orang lain telah memutuskan untuk lewat di jalan yang sama pada saat itu)?<br /><br />Jika hal ini direnungkan dengan baik, kita akan menyadari bahwa segala hal yang terjadi pada kita disebabkan oleh keputusan yang kita ambil sendiri dan gabungan dari banyak kondisi lain di sekitar kita. Tidak beralasan rasanya kita menyalahkan makhluk adikuasa atau siapapun atas suatu kondisi yang menimpa kita.<br /><br />william halim<br />Padang, 30 Juli 2008<br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4881890380178514766.post-63515848343449969972008-07-30T12:24:00.001+07:002008-07-30T13:42:40.199+07:00pertama kali...Hmm...<br /><br />Hari ini merupakan kali pertama saya mendaftarkan blog milik saya.<br /><br />Saya belum mempunyai ide apapun terhadap blog ini ke depannya. Tadi saya mengunjungi blog milik Dewi Lestari dan membaca salah satu artikel mengenai perceraiannya dengan Marcell. Saya memberikan <a href="http://fistonista.com/2008/07/16/dewi-lestari-dan-catatan-tentang-perpisahan/">tanggapan</a> saya disitu. Pada akhirnya, saya berpikir untuk memiliki sebuah blog juga untuk menuangkan ide-ide dan pemikiran saya. Jika ada tanggapan yang masuk, akan menjadi sebuah renungan yang berharga bagi saya.<br /><br />Pelajaran yang saya dapatkan hari ini adalah <i>paduan berbagai kondisi yang terjadi disekitar kita, sangat berpotensi memicu reaksi kita yang selanjutnya akan menelurkan berbagai hal, baik hal yang positif maupun hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu kita perlu berhati-hati untuk untuk menanggapi berbagai kondisi yang terjadi di sekitar kita tersebut</i>.<br /><br />william halim,<br />Padang, 30 Juli 2008<br /><br />::williamhalimhttp://www.blogger.com/profile/04386703431673581319noreply@blogger.com0