Sunday 12 April 2009

Patung Yang Menangis

Beberapa minggu belakangan umat dari Agama Buddha dihebohkan oleh pemberitaan sebuah patung Buddha yang menangis. Sesuai dengan Ajaran Buddha bahwa 'hidup adalah dukkha' (ketidakpuasan/penderitaan), beberapa menarik benang merah antara berita patung Buddha menangis dan hubungannya dengan Ajaran Buddha tsb. Saya ingat juga, peristiwa yang sama di Agama Katolik, Islam dan lainnya. Peristiwa2 aneh. seringkali di hubungkan dengan kebesaran Tuhan / dikait-kaitkan dengan inti ajaran Agama masing-masing.

Karena kali ini, yg dikabarkan menangis adalah patung Buddha, maka saya akan menulisnya dari sisi Ajaran Buddha.

Mengajarkan kenyataan tentang Dukkha adalah bagus, namun hendaknya tidak dengan jalan menambah pembodohan lainnya. 

Seyogyanya mengajarkan tentang dukkha, cinta kasih, dan kepedulian diiringi dengan kebijaksanaan juga. Jika ingin mengajarkan tentang kepedulian kepada alam, hendaknya mengambil contoh peristiwa longsor, bendungan jebol, banjir, dll. Bencana2 ini jelas timbul karena ketidakpedulian manusia pada alam sekitar. 

Mengajarkan 'cintakasih' dapat melalui contoh2 binatang terhadap anaknya, pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya, perjuangan bapak tua miskin yg menghidupi anak2nya sd sarjana, dsbnya... contoh2 begini sangat jelas dan banyak dihidangkan di sekitar kita setiap hari...

Mengambil contoh secara asal2an malah berpotensi mementahkan ajaran yg hendak kita sampaikan. Sama dengan menakut2i anak2 dengan cerita2 hantu.... Selain menjadi bodoh, bagaimana kalau contoh yg kita ambil tsb terbukti tidak benar? Terakhir saya baca bahwa air di patung tsb berasal dari tetesan dari plafon.

Sebenarnya, sangat berbeda antara 'patung yg menangis' dan 'patung yg ada air di daerah mata-nya'... 'Menangis' adalah suatu keadaan yg diakibatkan oleh emosi, mungkin karena sedih, gembira atau terharu. Sedangkan 'ada air di sekitar mata' mungkin dikarenakan mata masuk debu, rembesan,  tetesan, atau hal lainnya. Patung tidak dapat menangis karena seonggok batu bukanlah makhluk hidup, tidak mempunyai pikiran dan perasaan, sehingga seonggok batu tidak bisa bereaksi emosi dan menangis

Hendaknya kita tidak membiasakan diri untuk menanggapi setiap peristiwa yg kelihatan 'irasional' dengan berlebihan dan pengandai2an terlalu jauh. Beberapa saat yg lalu, umat agama Islam seringkali menggembor2kan tulisan 'TUHAN' yg ditemukan di timun, daun, awan di langit, dan mengambil hikmahnya yakni: "TUHAN maha besar...". Apakah memang begitu mengajarkan kebesaran Tuhan? Yakni adanya corak mirip namaNya di timun? Orang2 mungkin akan meragukan akal waras si pengajar, atau mulai berpikir bahwa si Tuhan ini mulai aneh-aneh saja, atau mungkin benar2 percaya dan menjadi bodoh. 

Juga ketika peristiwa tsunami menghantam Aceh. Beberapa menarik makna filosofis dari peristiwa tsb, diantaranya: Tuhan Maha Besar, Tuhan memperingati umatnya yg sudah mulai melupakanNya. Apakah bijaksana mengajarkan Kebesaran dan Cintakasih Tuhan dengan cara dangkal begitu? Sebagian akan mencaci maki Tuhan karena sifat kejamnya, sebagian akan mendebat yg mengatakan begitu, sebagian lagi (yg paling banyak) semakin percaya akan kebesaran Tuhan, menjadi semakin bodoh dan menganggap bahwa saudara2 kita di Aceh tsb memang 'pantas' dihukum Tuhan.

Ajaran Buddha yg saya ketahui adalah: Kehidupan adalah dukkha, bertemu orang yg dicintai dan pasti berpisah adalah dukkha, kesenangan yg direnggut adalah dukkha, dilecehkan adalah dukkha, mengharapkan sanjungan adalah dukkha juga, tidak mendapatkan yg diinginkan adalah dukkha, kekecewaan, dan segala emosi adalah dukkha. Kita terlibat dukkha yg berkepanjangan yg membuat kita stress dan menderita. Ini adalah kenyataan hidup. Bencana alam, musibah silih beganti, pembantaian, perang, perlunya kepedulian kepada alam, lingkungan dan sesama adalah kenyataan hidup juga, yg dapat diamati secara nyata. 

Namun, 'kenyataan akan dukkha' tidak akan membuat patung menangis. Patung yg mengeluarkan air, mungkin karena rembesan, mungkin karena tetesan, mungkin karena peristiwa alam lainnya yg belum kita ketahui, namun satu hal yg pasti: Semua kejadian di alam ini tidak terlepas dari hukum sebab akibat. Tidak ada keajaiban. Yg ada hanyalah sebab yg belum diketahui.

Patung yg mengeluarkan air mengajarkan kita hal lainnya, yakni: jangan gampang memercayai sesuatu hanya karena dikatakan orang2 begitu, atau desas desus begitu. Telaalah segala sesuatu dengan bijak, belajarlah untuk melihat apa adanya. 

Ketidak pedulian kita pada alam, keegoisan kita pada sesama, ketamakan kita akan bumi ini tidak akan mengakibatkan sebuah patung menangis, namun perbuatan kita tsb mempunyai efek yg jauh lebih dahsyat dan mematikan yakni: longsor, banjir, naiknya permukaan air laut, badai, perang, kelaparan dan segala akibat buruk lainnya. 

Padang, 12 April 2009

::

No comments: